I.N.J.U.R.Y T.I.M.E
Ada
harga yang harus dibayar mahal untuk sebuah episode perjalanan singkat di dalam
kereta dari Semarang menuju Surakarta.
“untuk menghargai
seorang penulis itu dengan membeli karyanya atau membaca karyanya ?” sebuah
pertanyaan yang aku lontarkan untuk memulai percakapan
Pada
saat itu aku dan seorang teman melakukan perjalanan pulang setelah mengikuti
kegiatan di semarang. Kami berada dalam kereta yang sama karena satu tujuan,
tentu saja banyak moment yang telah dilewatkan sepanjang perjalanan menuju
surakarta. Ini perjalanan pertamaku menggunakan kereta di kota batik setelah
beberapa bulan memutuskan untuk menetap disini. Tentu saja banyak mengurai
cerita dan pengalaman yang belum pernah didapatkan sebelumnya. Bagi masyarakat
di pulau jawa, barangkali kereta merupakan salah satu opsi transportasi yang
cukup ekonomis untuk memediasi perjalanan antar daerah. Seperti saat
menggunakan transportasi lain seperti
angkot, busway, bus kota dan lain-lain, memperhatikan para penumpang
kereta juga menarik untuk dilakukan. Mereka dengan berbagai kepentingan dan
kebutuhan memilih untuk menggunakan jasa transportasi tanpa macet ini. Ada raut
lelah, ceria, marah dan segala mimik yang tercermin pada wajah mereka.
Aku
dan temanku tenggelam dalam suatu obrolan panjang tanpa ujung sambil menahan
kantuk karena semilir air conditioner
dan cuaca mendung yang menandakan akan segera turun hujan. Sesekali aku melihat
keluar melalui kaca jendela yang mulai basah karena rintik hujan yang masih
jarang.
“sunrise paling cantik
bisa dilihat saat kita melakukan perjalanan pagi hari didalam kereta, coba
saja” temanku menawarkan
“boleh, suatu hari
nanti” jawabku bersemangat
Temanku
mulai melanjutkan obrolan yang terputus sebelumnya ketika kita belum berada
didalam kereta. Dia menceritakan banyak hal yang mulai mengusik alam pikirannya
sekarang sambil sesekali menjelaskan kepadaku pemandangan di kanan kiri kereta.
Dari bunga enceng gondong yang bermekaran seperti deretan taman lavender di
Eropa hingga kebun-kebun tembakau yang tumbuh subur disepanjang derah dataran
rendah. Belum lagi tanaman jagung, padi, sayur-mayur dengan pola tersiringnya
yang memperelok pemandangan.
Mulai
dari kapitalis hingga Islam ideologis, banyak hal yang kemudian menjadi bahan
renungan untuk kemudian diambil hikmahnya. Momentum ini dan kisah-kisah
selanjutnya yang barangkali akan menjadi tonggak perubahan pemikiran di dalam
diriku, kalau sebelumnya aku merasa bahwa diriku hanya berfikir dengan
mengedepankan hawa nafsu belaka namun temanku mengingatkan untuk membaca setiap
keadaan dengan mentaffakuri ayat-ayat kauniyah yang telah Allah sampaikan dalam
kitabNya. Kalau sebelumnya asumsi-asumsi yang muncul karena pengetahuanku
menjadi bahan pertahanan diri dari setiap pernyataan namum data dan logika
penting untuk menjelaskan semuanya.
Aku
kira cukup masuk akal bila kita ingin membangun kerangka berfikir yang
sistematis maka orientasinya harus dimulai dengan memperbanyak referensi
bacaan. Dan kalau boleh jujur selama ini aku lebih menyukai buku-buku yang
sesuai dengan kegemaranku dan agak bosan apabila harus membaca yang diluar
kompetensiku. Ini ternyata sangat egois dalam dunia pemikiran, karena khazanah
pengetahuan kita akan lebih luas apabila kita berfikiran terbuka dengan segala
hal termasuk yang tidak kita sukai.
Surakarta, 20/11/2017
Komentar
Posting Komentar